Perjalanan Mengenal Musik ; Barasuara

Jadi anak pecinta musik sidestream itu lumayan hal baru buat aku. Padahal kalau tak pikir-pikir lagi, dulu sih harusnya udah ngeh.

Semasa SMK (2014-2017), musik yang paling mendominasi dari hidupku selama 3 tahun lumayan beragam. Menjalani masa transisi sebagai kpopers mandiri, well saat SMP aku adalah kpopers yang memiliki teman kpopers banyak, dimana sangat seru membahas hal-hal berbau korea bersama. Saat masuk SMK harus menerima pil pahit, di antara teman-temanku tidak ada pengemar musik dari negeri gingseng sama sekali. Alamak, aku cukup menelan ludah sendiri, mendengar musik-musik kpop sendiri, bergossip dan menyimpan kegundah-gulana sendiri saat idola mendapat gossip. Semua kulakukan sangat mandiri. Belum lagi tekanan sekolah yang besar, karena jurusan multimedia maka di sibukan dengan desain mendesain, animasi, fotografi, juga film. Ikut organisasi. Bersosial dan kehidupan sebagai anak kos dari usia dini. Itu membuatku sejenak melupakan korean pop, beralih ke musik dominan di kelas. Karena jurusan multimedia itu punya banyak cowok, yang alhamdulilah dari mereka punya selera musik cukup bagus, yaitu Western music, menjadikan ku sebagai pendengar lagu-lagu american. Banyak dari mereka EDM addict, yang emang saat itu sedang jadi trend. Pula beberapa orang menjadi pendengar musik Grunge. Sisanya adalah manusia-manusia kurang update yang suka musik local wisdom a.k.a, dangdut maupun popnesia. Haha. Lucu sekali kalau mengingat di Lab suka berebut speaker untuk memutar lagu kesukaan.

Tapi ada yang membuat ku ingat bahwasaya dulu aku juga penikmat payung teduh. Berawal dari eskul sinematografi, virus itu menyebar ke berbagai angkatan. Dari situ aku menjadi pendengar musik indie, secara tidak langsung. Di akhir tahun SMK, sekitar 2016-2017 aku mulai suka Banda Neira, Efek Rumah Kaca, Senar Senja. Duileh. Udah ada bibit penggemar indie nih. Di tambah pecinta kopi sejak dini. Haha.

Oke, memasuki jaman kuliah, selera musik pun bergeser dari mainstream ke sidestream. Entahlah mungkin hawa dan iklim musik di kampus seni memang begitu, atau pendewasaan memang terjadi perlahan. Dari banyaknya acara musik di kampus se-solo yang mengundang grup indie local. Maupun indie nasional. Membuat ku mendengarkan musik-musik yang -anjirrr awesome- ternyata indonesia punya musisi keren juga ya.

Salah satu yang menariku adalah barasuara. Nama bandnya sangat gencar terdengar di tahun 2016-2017. Aku tahu, tapi aku bukan tempe. Maksud ku, aku tau, tapi belum tertarik. Karena jaman SMK masih baru di kenalkan dengan konsep music Folk. Haha. Dan menurutku sangat terlambat menyukai Lagu-lagu Barasuara di Album Taifun yang keluar di tahun 2015. Men, tahun segitu aku masih suka-sukanya EDM. Mana tahu indonesia punya musisi hebat yang bersatu menjadi sebuah band luar biasa. Mendengarkan lagu-lagu Barasuara di tahun 2018 memang terasa sangat lawas, albumnya keluar 3 tahun yang lalu, para Penunggang Badai (Fans dari Barasuara) sedang menanti dengan sabar menjurus agak jamuran untuk album ke 2.

Dan rasanya ingin sekali menyaksikan Live performance dari mereka. Pukulan Drum Marco, Betotan Bass Gerald, Petikan Gitar TJ, Suara merdu Icyl dan Puti juga sang Fortman plus otak dari Barasuara, Iga Massardi. Sebuah momentum menghentak saat musik-musik di alirkan ke telinga pendengar. Musiknya Progressive Rock, namun tidak pernah terpaku pada satu Genre. Terasa keras, tapi ada unsur kelembutan dari suara 2 vokalis wanita. Sebuah perpaduan cerdas juga jenius. Nada-nada yang terkesan kompleks, pun makna-makna bias yang sukar dimengerti tapi memiliki arti indah. Kalau dalam film, Barasuara adalah Experimental. Keluar dari jalur biasa, tidak terikat Teori, namun tetap berirama, sejalan, dan punya pesan untuk di sampaikan. Proses mencari alternatif.

Akupun terkesima. Ini musik apa awalnya. Kenapa aku langsung jatuh cinta pada 9 track lagu ini. Ada sebuah hal yang membuat Barasuara sangat stereotype, lagu mereka khas sekali, tapi alasan di balik itu sedang kucari. Kenapa ya, musik ini dikenal sebagai musik barasuara banget, disaat orang2 mendescreditkan pada musisi luar. Memang, barasuara punya banyak Influence. Musiknya familiar, tapi terkesan local. Aku selalu mencari tahu dan penasaran. Ku tonton video-video interview mereka. Yang sebenarnya punya jawaban sama. Musik barasuara adalah pencarian alternatif Iga Massardi, tidak berhenti sebagai musik local saja yang terkesan nasionalis (selain pakaian Iga yang selalu Batik), bukan hal kecil bagi Gerald Situmorang yang di kenal pioner gitar namun harus menjadi bassist. Pun dari Jazz ke Rock. Transisi luar biasa. Juga Marco Steffiano, drummer dari penyanyi solo, Raisa dan Afgan. Sekolah drum di amerika membuat dia aware dengan segala sesuatu yang progressive. Pun menjadi produser juga music director sekarang. Ateriska, penyanyi Ballad yang tidak pernah terpikir untuk bergabung dalam sebuah Band. Aliran yang sangat kontradiktif. Begitupula bagi Puti, lulusan universitas di jurusan musik di jepang.

Hal luar biasa itu melebur dan padu menjadi satu dalam sebuah musik baru. Barasuara menawarkan sensasi anyar untuk pendengar. Luar biasa.

Di tahun 2019 ini, Agaknya Barasuara bersiap meluncurkan album kedua. Di tengah padatnya project pribadi, manggung, juga kehidupan berkeluarga, mereka akan hadir kembali. Meramaikan musik indonesia.
Aku harap, yang selalu aku harap, aku bisa mendapat kesempatan menonton tour mereka. Menjadi satu dengan para penunggang badai, menyanyikan lagu-lagu mereka dan tenggelam dalam euforia yang tak terbatas.

Maju terus musik indonesia

Sincerely, newbie Penunggang Badai,
Setengahlucuhehe.

Tinggalkan komentar